Mumpung Muda



“Utuuuuuuuuuuuuuunnnnn”
Jeritan seorang perempuan menggema di udara. Suara yang agaknya tak asing bagi gadis muda berambut ekor kuda, berpakaian putih-abu, dengan sepatu ketsnya yang mulai usang. Dengan lantang iya menjawab “Iyaaaaaaaa” hingga suaranya menggema di udara. Mengenai dinding dalam ruang yang gelap dan lembab, lalu memantul dan menghasilkan echo signal dan masuk lagi ke dalam kupingnya.
“Tuuuuunnnnn.. Udaaaaaaahhhh keeeluuuaaarrr aaajaaaaaa”
“Bentaaaaaarrr laaghhiiiiiiii”
Detik di jam perempuan muda di dalam gua itu bergerak sama seperti biasanya. Tak lebih cepat maupun lebih lambat. Namun temannya yang menunggu di luar tampaknya merasa detik berlalu lebih lambat. Khawatir terjadi sesuatu pada perempuan di dalam gua itu.
“Lagian lu ngapain sih pake acara taruhan gak jelas gini?! Bahaya tau! Kalo si Utun kenapa-kenapa, gimana?” tanya perempuan yang ada di luar gua pada laki-laki yang ada di sebelahnya. Kandungan rasa kesal dan khawatir bersenyawa dalam nada bicaranya.
“Lah salah dia sendiri kenapa mau gua ajakin taruhan, jangan nyalahin gue lah!” jawab laki-laki ini dengan nada yang agak meninggi. Tapi di ujung kalimatnya terdengar agak bergetar. Kandungan rasa kesal dan khawatir tampaknya juga saling campur aduk pada dirinya.
Jauh dalam hati lelaki itu, ada detak jantung yang berirama lebih cepat dari biasanya. Sering kali iya menatap jam tangannya dan berharap jarum jamnya bergerak lebih cepat dan lebih cepat lagi. Hingga waktu sejam yang ia pertaruhkan cepat berlalu dan perempuan di dalam sana bisa lebih cepat keluar.
Namun sebagai lelaki yang teguh pada pendirian, ia tak boleh goyah. Perempuan di dalam sana harus menepati janji yang mereka berdua pertaruhkan. Apapun risikonya. Hingga pada dua menit terakhir dalam taruhannya dia memanggil perempuan di dalam gua itu untuk segera keluar.
“Tuuuunnn.. Waktu lu dua menit lagi”
Tapi tidak ada suara balasan dari dalam.
“Tuuunnnnnn udaaaaaaahhh keluaaaarrr ajaaaaaaa”
Dua orang di luar gua berurutan memanggilnya. Tapi masih belum ada respon.
“Dan, kalau ada apa-apa sama Utun, tanggung jawab lo!” ancam perempuan itu.
“Apaan sih lu, gak akan ada apa-apa sama Utun” jawab lelaki ini dengan keringat di dahi dan pelipis yang mulai bercucuran.
“Lo boleh keluar setelah gua itung mundur dari 10, Tun!” teriak lelaki itu ke arah dalam gua.
“Sepuluh…
Sembilan..
Lapan…
Tujuuuhh…
Enaaammmmm…
Limaaaa…
Empaaaaattt…
Tigaaaa…
Duaaaa…
Satuuuuuuuuuuu….”
Hitungan lelaki itu sudah selesai. Namun yang diharapkan mereka belum kesampaian. Utun, nama perempuan yang disebut-sebut mereka tadi belum juga keluar dari gua itu. Panik, khawatir, cemas beradu jadi satu di hati mereka berdua.
“Tun jangan becanda! Lu bisa keluar sekarang!” teriak lelaki itu lagi.
But, no respond.
“Ah sial! Lu tunggu sini, gua jemput Utun ke dalem” katanya setelah tak sabar menunggu respon yang tak kunjung datang dari dalam gua sana.
Dan lelaki itu pun mulai berjalan ke dalam gua. Dengan modal cahaya senter kecilnya, dia melangkahkan kaki dengan mantap. Menjemput temannya yang harusnya sudah keluar dari tadi. “Ah sial!”
Gadis yang berada di luar menatap nanar pada punggung lelaki yang mulai menyusuri gua yang gelap dan lembab itu. Hingga ia merasakan sebuah tangan memegang pundaknya. Bulu romanya bergidik ngeri hingga yang ia temui wajah tampan nan rupawan.
“Astaghfirullah, Gilang!”
Wajahnya yang dingin tanpa dosa mendinginkan hati gadis yang sedari tadi memanas karena khawatir. Hinga hatinya makin dingin ketika muncul sosok perempuan berpakaian putih dari arah belakang punggung sang lelaki. Perempuan itu melambai-lambaikan tangannya dengan sebuah senyum lebar yang puas.
Gadis itu tak tahu harus berekspresi seperti apa.
“Itu si Danu mau ngapain, Yar?” tanya lelaki yang diketahui bernama Gilang itu.
“Tun? Lu kenapa di belakang Gilang?” tanya gadis itu tampak tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dan tak menjawab pertanyaan lelaki tampan yang tadi menanyainya.
“Hehehe” jawab Utun dengan cengirannya.
“Dasaaaarrrrr Utuuuuuuuuunnnnn” kata gadis itu seraya bergerak ke arah Utun dengan niat yang kuat untuk memukuli gadis berkaos putih dan bercelana jogger abu-abu yang mulai  kelihatan hitam di bagian bawahnya karena kotor.
Terdengar di telinga Danu-lelaki yang sudah berada di dalam gua-suara tawa dan pekikan perempuan di luar gua. Dia menolehkan wajahnya dan melihat di luar gua ada tiga siluet manusia. “Anjiw itu si Utun?” katanya dalam hati.
“Woy Dan! Lu ngapain main gelap-gelapan?” tanya Gilang dari luar gua.
“Hahaha! Daaaan, lapeeerrrrrrr! Duluan makan yaaaaa” timpal Utun dengan nada suara yang cukup menjengkelkan.
“Dah Danuuuuuuuuuu” sambung Yara, gadis yang tadi menemani Danu di luar gua, menunggu keluarnya sang sahabat bernama Utun yang mereka sayangi dan sesekali ingin pukuli.
“Ah tungguin gua woooooyyyyyy” jawab Danu dari dalam gua sambil berlari menuju mereka bertiga.
Sedangkan Yara, Gilang dan Utun sudah berjalan menjauhi gua itu sambil tertawa lepas.
“Jahat banget, sih, lu Tun. Lagian keluar dari mana coba tadi?” tanya Yara yang kini sudah berada di sebelah kanan Utun.
“Hahaha salah sendiri taruhan sama gua. Mau gua kalah di awal juga, bakal tetep gua yang menang di akhir” jawab Utun dengan nada seenaknya.
“Utuuuuunnaaaaaa Napapaaaaaaaaa! Awas lu yaaaaaaaaa!” suara Danu dari arah belakang mengagetkan mereka. Sontak ketiga kepala itu menoleh ke arahnya dan kini Danu sudah berlari ke arah Utun dengan niat memukul gadis menjengkelkan itu.
Seketika Utun berlari sambil tertawa lepas. Tapi rupanya Danu lebih cepat dan bertenaga, hingga Utun tertangkap dan habislah sudah. Kini Utun sudah terbaring di tanah dan di atasnya sudah ada Danu dengan posisi siap memukul. Bukannya takut, Utun malah tertawa keras dan menjulurkan lidahnya. Sontak Danu makin kesal dan kini tangannya sudah terkepal.
Akhirnya kepala gadis bernama Utun itu jadi bulanan tangan Danu yang kini sudah menjitak-jitak kepalanya.
Kalian tahu Sinchan? Nah, pasti tahukan apa yang dilakukan mamanya Sinchan ketika dia ketahuan nakal? Yak, yang dilakukan mamanya Sinchan kepada Sinchan sama persis dengan apa yang dilakukan Danu pada Utun saat ini. Hingga jika dikartunkan, mungkin kepala Utun sudah tumbuh benjolan besar.

“Itu bocah berdua bener-bener bocah” kata Yara pada Gilang dengan sebuah gelengan kepala. “Iya, temen lu tuh, Yar” jawab Gilang yang malah tersenyum melihat kejadian yang ada di depan mereka.
“Ini ngomong-ngomong, kita kok mau-maunya ngikut mereka ke sini, ya?” tanya Yara basa-basi mencari bahan pembicaraan.
“Iya, segala kemah kaya anak Pramuka. Cuma buat taruhan mereka berdua. Tapi gapapa, Yar, mumpung masih muda ” jawab Gilang santai.
“Hahaha bener! Hayuklah mending makan mie deket tenda, biarin aja tuh anak berdua tonjok-tonjokan” ajak Yara.

What we say for people that doing crazy things?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepikiran #3 Kepikiran

What Happened to My Twenty-Seventh

Human's Emotion Over a Novel: Laut Bercerita