Human's Emotion Over a Novel: Laut Bercerita


Laut Bercerita, sebuah karya dari Leila S. Chudori.
This post will not explain page per page what's written on the book.
This post just describe how i express the human's emotion i had while read this book.

Oh here we go, I'm crying (again) over a book.
*it might gonna be a spoiler but who would read my blog? hehehe so let's start.
 
----
 
Seperti sinopsis pada belakang novelnya, Laut Bercerita adalah sebuah tulisan tentang keluarga yang kehilangan, sekumpulan sahabat yang merasakan kekosongan di dada, sekelompok orang yang gemar menyiksa dan lancar berkhianat, sejumlah keluarga yang mencari kejelasan makam anaknya, dan tentang cinta yang tak akan luntur.

Laut, laki-laki muda berkepala penuh cita-cita dan ambisi untuk negaranya, beserta teman-temannya di Winatra dan Wirasena. Mengenai Laut, apa yang tak aku irikan kecuali kematiannya yang pedih. Keluarga yang digambarkan damai dan harmonis, teman-teman sefrekuensi dan seperjuangan, koleksi buku-bukunya, bahkan hubungan personalnya dengan Anjani. Bagaimana ia mampu menulis dengan baik, memasak dengan terampil, dan bagaimana ia dan adiknya bisa terjalin hubungan yang dalam walaupun ia (kadang) menjengkelkan.

Kisah Laut dimulai dari keikutsertaannya di organisasi bawah tanah kampusnya. Ia, Kinan-yang sering sekelebat lewat dalam pikiran bagaimana dan di mana dia selama aku belum melanjutkan membaca buku waktu itu-dan yang aku kagumi, Alex, Daniel, dan lainnya yang perlahan mulai ku hitung dan ingat-ingat sebagaimana kisah mereka satu-persatu. 
 
Perjalanan demi perjalanan, perkumpulan yang mereka adakan, pembahasan nilai-nilai, membuat aku merasa ingin berada di antara mereka. Ikut membantu Alex mengabadikan mereka dalam foto dan menggantikan Gusti yang jahatnya ingin ku katai dengan kata-kata kasar. Aku ingin berada di sana meski hanya membantu Anjani mengambil cat-cat warna yang akan dia pakai, atau membantu Laut memasukan mie ke dalam rak, atau sekadar membawakan kertas-kertas yang akan dipakai Kinan,  atau mendengar keluhan Daniel. 
 
Aku bersedia menjadi bagian dari mereka.
 
Sampai pada saat mereka mulai berpencar diincar kawanan pemburu. Pada momen ini aku mulai membenci aparat di dalam cerita. Lucunya aku merasa mulai krisis perasaan, karena profesi pemburu itu sepertinya sama seperti ayah ku. Walaupun aku tau betul ayahku bukan bagian dari mereka. 
 
---
Kisah cinta yang terjadi di Laut Bercerita juga memberi perasaan yang menyenangkan sekaligus menyesakkan. Pertemuan Laut dan Anjani, percakapan di antara mereka, aku ikut jatuh cinta. Bagaimana Laut terkesan akan perspektif Anjani mengenai kisah Mahabrata. Perasaan berdebar Laut ketika tiba-tiba dikecup Anjani dalam perjalanan mereka ke Blangguan. Dan perasaan ketika surat-surat dengan nama berbeda dikirim dan diterima.
 
Lalu kisah Alex dan Mara. Tatapan, ketertarikan dan berakhir pada cumbuan. Butuh waktu dan nekat untuk mereka bisa menjadi kekasih satu sama lain. Sangat dapat dimengerti bahwa memiliki kekasih waktu itu bagi seorang seperti Alex merupakan hal yang mengerikan. Asmara bisa dalam posisi membahayakan. Namun cinta tetaplah cinta. Keberanian harus ada di dalamnya. 
 

Namun kisah mereka memang tak hanya tentang rasa senang dan apalagi tenang.

Hilangnya Laut menghancurkan jiwa dan diri Anjani. 

Hilangnya Laut juga menghancurkan Alex sebagai kawan terdekatnya. 

Rasa kosong pada jiwa menuntun mereka pada sikap dingin. 

Anjani hidup dalam ide bahwa Laut masih ada di suatu tempat, dan akan pulang ke dalam pelukannya. Alex yang merasa bersalah mengapa ia dikembalikan sedang teman-temannya hilang, merasa ia tak punya tujuan apa-apa lagi. Hal ini menjauhkan ia pula dengan Mara. Ia menarik diri.

---
 
Perjalanan anak-anak muda itu kemudian akhirnya terhenti ketika satu per satu dari mereka ditangkap. Hatiku mencelos ketika Laut dijemput paksa dari rumah susun. Skenario-skenario terburuk berkelebat dan benar saja, tak lama dari itu ia dibawa dan diasingkan, kemudian disiksa hingga ia tak sadar diri-sadar-tak sadar lagi. Sumpah serapah pantas didapatkan para pemburu dan penyiksa itu. Demi Tuhan, saat itu aku berharap mereka membusuk di neraka.

Pikiran ku melayang bagaimana jika aku adalah Mara, atau orang tua Laut, atau bahkan bagaimana jika aku adalah Anjani. Bagaimana rasanya mengetahui orang yang kau kasihi dihabisi tanpa henti, tanpa kau bisa lakukan apa-apa.

Bodohnya, aku sedikit lega ketika Laut bisa bertemu teman-temannya di sel-sel pengasingan. Walau ku tahu penyiksaan akan datang lagi padanya, aku bersyukur di masa-masa itu ia dan teman-temannya dapat saling menguatkan. 

Aku membayangkan aku ada di sudut ruangan tempat Laut disidang. Melihatnya dibaringkan di balok es hingga kaku. Kemudian dilempar kembali ke sel tanpa baju. Betapa anak yang dikasihi, kakak yang dikagumi, kekasih yang dicintai, dalam beberapa malam menjadi seseorang yang hampir tak dikenali karena dihabisi hingga babak belur tak berbentuk.
 
---
 
Hari-hari tanpa kabar Laut, hingga Alex akhirnya dikembalikan, menyisakan lubang tak berdasar pada hati Ibu dan Bapak Laut. Waktu mereka dihabiskan pada imajinasi bahwa Laut akan pulang dan duduk di meja makan bersama mereka. Laut akan kembali dan memasuki kamarnya yang penuh buku-buku dan cerpen buatannya. Laut, anak yang mereka kasihi, akan kembali.
 
Para ibu, bapak, paman, adik, kakak, atau istri dari mereka yang tak pulang kemudian membentuk komisi untuk mencari tahu di mana orang kekasihnya berada. Beberapa mencoba rasional dan terus berusaha mencari cara agar mereka yang tak pulang mendapat perhatian negara. Beberapa tidak. Mereka yang masih berada dalam gelembung khayalan, masih merasa bahwa orang terkasihnya akan kembali, bahkan sudah kembali dalam beberapa saat lalu hilang lagi. 

Pada momen ini, aku tak dapat membayangkan akan menjadi apa aku jika jadi mereka. Aku mungkin tak mampu berpikir rasional, pun mungkin aku akan bergabung bersama Bapak Ibu Laut memasak masakan untuknya ia tiba-tiba berada di depan pintu.
 
---
 
Laut pada akhirnya tidak pulang ke rumah. Tak seperti cerpennya Rizki Belum Pulang, Laut tidak pulang. Perihal menerima fakta ini, ibu Laut butuh waktu yang lama. Ia harus 'disadarkan' Laut dan Mara bergantian. Mara pada akhirnya berterus terang bahwa ia pun butuh sosok Ibu yang selama ini hilang bersama hilangnya sosok kakak dalam hidupnya. 

---

Selama membaca buku ini, aku merasa adanya kerinduan pada adik dan orangtuaku di Medan, perasaan bersalah tak selalu ada di sekitar mereka, menyesal akan waktu-waktu yang tak ku habiskan bersama di sana. 
 
Lalu merasa kisah ini menyedihkan karena cerita ini berdasar pada kejadian nyata. Betapa menyesakkan yang berkuasa bisa melakukan apa saja atas hidup orang-orang biasa seperti Laut dan kita semua. 
 
 
Oh Laut, matilah engkau mati.
Semoga engkau lahir berkali-kali.
 
 
 
 




 

Komentar

  1. Who would read your blog? It's me! Pembaca setia sejak bukan awan :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepikiran #3 Kepikiran

What Happened to My Twenty-Seventh