Waktu Yang Salah

         " Rasanya nyaman sekali " gumamku dalam hati. Mataku yang terpejam sesekali kembali terbuka hanya untuk melihat jam di tangan kiriku. Ah sudah hampir setengah jam kepala ku tersandar di lengan Dio. Tak terasa. Rasanya baru lima detik yang lalu aku menutup telfon dan langsung mengambil alih fungsi lengan Dio menjadi bantal paling nyaman untukku.

        Aku masih bersandar di lengan Dio namun mataku kini terbuka setelah dia menyebut namaku. " Lika.. "

        Tak perlu waktu lama, aku langsung menjawab suaranya yang lembut dengan nada tak kalah lembut " Iya, kenapa? "

        " Oh kamu ternyata masih sadar, kirain udah terlelap " katanya lagi lalu tertawa kecil. " Hmm? Cuma mau ngecek aku sadar atau enggak aja? " tanyaku sambil bangun dari sandaran paling nyaman buatku. " Iya " jawabnya singkat sambil nyengir sok lucu. " Isshh dasar! " kataku menggerutu sambil melipat kedua tanganku di dada. 

        Dio tak mengeluarkan suara apapun. Tawanya tak lagi terdengar. Hanya terlihat senyum manis lelaki ini melengkung di wajahnya. Aku membetulkan posisi duduk dan tak lagi melipat tangan. 

        " Apa yang sedang kamu pikirkan? " kataku dalan hati sambil melihat parasnya yang kelihatan lelah. 

        " Aku mikirin kamu kok " katanya tiba-tiba. Menjawab pertanyaanku yang bahkan tak ku ucapkan. " Aku tahu dengan tampangmu yang seperti itu, pasti kamu tadi berkata ' apa yang sedang kamu pikirkan?' ketika melihatku diam, iya, kan? " lanjutnya. Kini matanya sudah melihat ke arahku dan senyumnya kini tertuju ke arahku. 

        Aku membalas senyumnya. Dia selalu tahu aku, lebih dari siapapun, kecuali ibuku sendiri. 

        " Ternyata sulit, ya.. " katanya membuka percakapan kembali. " Sulit? " tanyaku heran. 

        " Iya, mengetahui aku pilihan tapi hanya dihuni sebagian.. Sebagian dari kamu " jawabnya dengan datar. Aku tahu arah pembicaraannya, tapi aku sadar, membicarakan hal ini hanya akan membuat lukanya kembali terbuka.

        " Kamu tahu, kan, ini cuma masalah waktu. Perasaan kita tepat, cuma waktu yang salah " kataku mencoba tenang.

        Hening.

        Aku melihat jam tanganku. " Udah jam lima, aku balik duluan, ya " kataku membuka suara. Berdiri dan mengambil tasku di sisi Dio yang masih diam. Rasanya untuk saat ini aku ingin segera berlalu. 

        " Lik..  " Aku menoleh perlahan ke asal suara, yaitu Dio. " Cepatlah menjadi utuh, buatku. " Aku tersenyum, tak tahu harus berkata apa pada sosok lelaki yang masih duduk di bangku panjang itu. 

        " Beri kisah kita sedikit waktu. Semesta mengirim kamu untuk aku. Kita.. Cuma rasa yang tepat tapi di waktu yang salah, Io. "
        Akhirnya kalimat itu menjadi jawaban terakhirku untuk Dio sebelum aku berlalu pergi. Benar-benar pergi.




Inspired by Waktu Yang Salah - Fiersa Besari

        





        

        



        

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepikiran #3 Kepikiran

What Happened to My Twenty-Seventh

Human's Emotion Over a Novel: Laut Bercerita