Vano

        " Kamu jaga diri baik-baik, ya. Jaga hati, dan jangan lupa kasih kabar. Kita cuma beda kota aja kok " kata Vano sambil menatap lurus ke arah mataku. Tangannya yang menggenggam kedua tanganku kini mulai melemah. Dan akhirnya dia melepaskan genggamannya.

        Mataku kurasa mulai berkaca-kaca menahan genangan air yang rasanya ingin tumpah di sudut indra penglihatanku ini.

        " Hey, jangan sedih. Nanti kalau aku udah jadi penerbang, aku bakal sering ngunjungin kamu di kota yang katanya panas itu. " Vano mencoba menghiburku. Dia tersenyum sedamai mungkin agar resahku segera pergi.

        " Berjanjilah, segera jadi yang kamu impikan dan kunjungi aku! " kataku manja. Entahlah, aku yang selama ini terkesan kuat malah jadi semanja ini pada sosok lelaki yang baru empat bulan ku kenal. Aneh.

        Dia mengangguk. Senyumnya masih hadir di wajah sendu nan teduh itu. Dia mengelus rambutku dan berkata " pasti, asalkan kamu setia menanti. "

        " Itu bukannya lirik lagu, ya? " tanyaku heran. " Iya hehehe " jawabnya.

        Tiba-tiba lengannya meraih tubuhku dan melingkarkannya sehingga aku terbenam dalam peluknya. Nyaman, rasanya aku tak ingin terlepas dari suasana ini. Aku ingin terus ada di dekapannya.

        " Panggilan terakhir kepada Nyonya Triaswasti agar segera melakukan check in di check in counter. " Suara perempuan di pengeras suara itu seharusnya mengingatkanku bahwa aku harus segera pergi karena memang jadwal penerbanganku sebentar lagi. Tapi aku malah tak menghiraukannya.

        "Sekali lagi, panggilan kepada Nyonya Triaswasti agar segera melakukan check in di check in counter. Terima kasih. " Suara di pengeras suara itu tak ku hiraukan lagi. Ku biarkan sampai berulang kali terdengar. Dan kurasa Vano pun demikian. Tak sejengkalpun dia berusaha lepaskan pelukan.

        " Panggilan kepada Nyonya Triaswasti untuuukkkk banguuuuuuunnnn! Mama bangun, Ma! Maaaaaaa!. " Suara announcer itu berubah jadi suara anak-anak. Aku melepas pelukanku dari Vano dan berniat melihat paras lelaki ini sekali lagi sebelum aku pergi.

        Tapi bukan Vano yang ada di hadapanku sekarang. Tubuhnya yang kekar kini menyusut jadi setinggi perutku. " Ma, bangun Ma, kita udah sampai " katanya sambil menarik-narik bajuku. " Apa? " tanyaku heran. Segera aku mengambil cermin di tasku. " Apa?! Kenapa aku jadi tua begini?! " seruku pada bayanganku sendiri di cermin. Tidaaakkkkkk!

        " Ma, Mama kenapa? " tanya anak kecil di sampingku dengan tampang kagetnya. " Astaga! " kataku tak kalah kagetnya. Aku membetulkan posisi dudukku yang habis ketiduran dan segera merapikan rambutku.

        " Gapapa, sayang. Mama cuma ketiduran " jawabku sambil tersenyum kikuk pada anakku sendiri. Aku mengelus-elus rambut bocah kecil di sampingku ini sambil mencoba menaikan kesadaranku agar benar-benar raga dan jiwaku bersatu seutuhnya. Tak ada yang ketinggalan di ruang mimpi indah barusan.

        Dia mengangguk seakan mengerti dan kembali memainkan mobil-mobilannya. Aku bernafas lega.

        " Hmm oh iya, Ma, Vano itu siapa, Ma? "

Komentar

  1. Vano itu kalo lagi keringetan langsung mandi ,nah itu bisa menyebabkan vano .*eh haha :d

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepikiran #3 Kepikiran

What Happened to My Twenty-Seventh

Human's Emotion Over a Novel: Laut Bercerita