Your Silver Ticket

          " Aku menyukaimu " aku berkata lirih kepada perempuan manis di hadapanku ini. Seluruh keberanianku sore ini ku tumpahkan seluber-lubernya dengan semesta sebagai saksinya.
         " Ren? Are you kidding me? " tanyanya heran. Ya, tampak paras manisnya berubah heran. Siapa sangka aku yang selama ini ada di sampingnya sebagai teman lelaki paling akrab tiba-tiba menyatakan perasaan.
     " No. That feeling is true. And it aint kidding or joking or flirting " jawabku meyakinkannya. Aku menatap lurus ke kedua bola matanya yang bulat itu. Astaga, dia sosok paling sempurna ketiga setelah ibu dan Maudy Ayunda menurutku.
  Dia membuang tatapannya dariku. Melempar jauh-jauh pandangannya ke sekeliling tempat kami berada.
       Aku tak menyalahkannya untuk hal itu. Menerima kenyataan bahwa seseorang yang selama ini dianggapnya sahabat, ternyata punya perasaan lain yang seharusnya tak ada, pasti sulit, bukan?
      " Aku tau, pasti aneh buat kamu. Tapi, ini perasaanku, kamu gak perlu bales kalau kamu gak punya perasaan yang sama. Setidaknya.. " Aku berfikir untuk melanjutkan kalimatnya. Semoga kelanjutannya benar-benar bukan hal yang naif. " setidaknya, aku udah menyatakan dan kamu udah tau apa yang aku rasain. " 
      Dia kembali melihatku. Wajahnya masih tampak heran seolah-olah tak percaya.
        Tapi aku membalas tatapan itu dengan ssenyuman. Sehangat mungkin. Sedamai mungkin. Seolah-olah debaran di hatiku tak lagi menderu.
        Raut wajahnya berubah. Lengkungan dari bibirnya muncul menggantikan tampang bingungnya.
        " Kamu? Kenapa senyum? " Aku bertanya. Kini aku yang merasa heran.
        " Apa gue gak boleh senyum? Dan kenapa lu make bahasa Indonesia baku banget, sih? " Dia menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan juga. Dua pertanyaan.
        " Ya, boleh sih, boleh hehehe " kataku cengengesan.
        " Terus? Udah selesai pengakuannya? "
        " Eh hmm udah kok "
        " Yakin? "
        " Not yet, would you be my.. Umm.. Be my golden ticket to have all happiness in this world? " Aku memberanikan diri menyatakan kalimat itu. Kalimat pamungkas yang sudah kusiapkan belakangan ini.
        Dia tertawa. Aku terdiam.
        " Din? Kamu sehat? " tanyaku sambil menepuk pundaknya.
        " I'm not okay. Cause i wanna be your golden ticket and it means i have to make your happiness to be true "
        " Artinya, kamu mau? " tanyaku meyakinkan diri sendiri.
        " Yup, asalkan lu juga mau nyiptain happiness gue juga, gak cuma happiness nya elu aja " katanya sambil tertawa dan meninju lenganku.
        " And stop 'kamu-aku-an'! Geli tau! " timpalnya lagi.
        " Hmm iyaiya, my golden ticket "

~~~~~~~~~~
        Aku melirik jam tanganku. Hampir setengah jam aku duduk sendiri di taman ini. Menunggu sosok perempuan yang setahun ini berubah statusnya dari sahabat menjadi sosok hangat yang kusebut ' golden ticket '. Ya, yang tepat setahun lalu duduk bersamaku di sini, mengatakan iya untuk pernyatan bodohku.
        Pikiranku melayang, menembus kenangan setahun yang lalu di tempat ini. Setelah kejadian konyol itu, aku dan dia melewati hari-hari kami tak ubah seperti sahabat satu sama lain. Tak ada yang berubah. Tertawa, bercerita ini-itu tentang dunianya, hari-hari yang aku lewati, masih sama cara dan apapun itu seperti setahun yang silam dan tahun-tahun sebelumnya juga. Tak ada yang berubah.
        " Duh, Ren maaf gue telat " suara Dinda mengaburkan lamunanku.
        Kebiasaannya yang suka telatpun tak berubah.
        Aku tersenyum. Sehangat dan sedamai mungkin.
        " It's okay "
        " Hehehe makasih Renoooo " jawabnya sambil mencubit pipiku.
        " Aww! Pipi gue bakal melar nih kalo gini terus " kataku sambil mengelus-elus pipiku sendiri.
        " Yaelah lebay deh " balasnya sambil mengambil tempat di sisi kananku. Dan meletakkan kepalanya di lenganku.
        Dia menghela napas, tanda dia ingin kepalanya segera di puk-puk atau sekadar dielus sambil memainkan rambut hitamnya.
        Seperti biasa.
        Aku begitu hafal apa yang diinginkannya.
        " Din? My golden ticket? " kataku memulai pembicaraan sambil mengelus-elus kepalanya.
        " Hmm? " dia bergumam saja.
        " Apa yang lu rasain setahun ini? "
        " Rasain? " tanyanya masih dengan mata tertutup.
        " Iya, apa rasanya berbeda sama waktu kita sekadar sahabatan? Sebelum kIta benar-benar jadian? " aku jawab pertanyaannya dengan pertanyaanku.
        " Hmm iya, bukannya kita lebih deket ya sekarang? Semakin sering ketemuan dan chattingan? " jawabnya. Dia kini membetulkan posisi duduknya dan menatapku heran.
        " Iya.. Tapi, perasaan? Apa berubah dari cuma temen ke sahabat terus sekarang.. Pacar? " tanyaku sedikit ragu.
        " Wait.. Maksudnya? " tanyanya balik dengan wajah yang lebih serius.
        " Setahun ini, apa perasaan kamu eh elu berubah dari perasaan ke sahabat sendiri jadi perasaan yang lebih? " Aku menjelaskan.
        Dia terdiam. Membuang tatapannya dariku. Dan kini kolam yang ada di depan kami menjadi objek untuk penglihatan kedua mata indahnya.
        " Gue gak ngerti maksud lo " jawabnya masih dengan mata yang menatap ke arah lain. Bukan ke arah mataku.
        " Kita, yang sama-sama mencoba jadi tiket emas untuk satu sama lain, ternyata gak kemana-mana, Din.. "
        Aku sedikit ragu melanjutkan tapi aku rasa apa yang terjadi harus diluruskan.
        " Perasaan kita, sadar gak kalau perasaan kita ternyata gak tumbuh jadi sesuatu yang lebih? Hal yang gue sebut perasaan itu ternyata stuck di ikatan yang kita sebut dulu sahabatan "
        Dia melihatku. Kini matanya menatapku lekat, seakan tak ingin aku melanjutkan kalimatku.
        " Kita, memang mungkin menjadi golden ticket satu sama lain, tapi semu. Kenyamanan yang kita rasain layaknya sahabat, yang benar-benar pure untuk sahabat. Bukan sebagai pacar. "
        " Apa itu masalah buat lo, Ren? Bukannya setahun ini kita baik-baik aja? Nyaris gak ada masalah kaya pasangan-pasangan lebay lain " dia memberi penjelasan untuk apa yang ku sampaikan.
        " Itu masalahnya, Din. Karena hubungan ini gak ubahnya kaya kita dulu, sekadar sahabat... "
        " tanpa ada hal spesial lain " kataku menambahkan.
        Dia tersenyum. Semanis senyumannya sseperti biasa. " Mungkin lu bener, kita stuck diperasaan yang masih kaya dulu. Rasa sayang sebagai sahabat " jawabnya sambil tersenyum. Tapi, air mukanya tak menunjukkan dia benar-benar tersenyum.
        " Tapi, apa itu masalah, buat lo? Ketika orang lain pengen pacaran kaya sahabatan atau pacaran tanpa masalah kaya kita, lo malah pengen berhenti? Dan mundur? " lanjutnya dengan kalimat tanya yang sinis.
        " Kita bahkan bukan pacaran kaya sahabatan, kita pure sahabatan. " jawabku singkat.
        Dia menghela napas panjang. Menerawang ke langit sore yang menemani kami.
        Beberapa menit berlalu tanpa suara di antara aku dan Dinda. Perempuan ini diam dan mengambil jarak dari diriku.
        Dia membuka suara. " Gue, sebenernya bingung sama semua ini. Tapi, lo bener, kita masih kaya dulu. Gak ada yang lebih, gak ada yang spesial. "
        Wajahnya yang tadinya tertunduk kini melihatku dengan tampang ikhlas. Dia tersenyum, manis seperti biasanya.
        " Cari gih, your real golden ticket " lanjutnya sambil menatapku lekat. " Biar gue jadi silver ticket kebahagian lo, sebagai sahabat lo kaya dulu. "
        Aku menghela napas. Tak kusangka dia sedewasa ini. Aku tersenyum ke arahnya. Aku meraih tubuhnya, menariknya ke dalam pelukku. Dia tak mengelak. Ditepuknya punggungku, sambil berucap lirih " thanks my golden ticket, you always be that. " " Terima kasih juga, untukmu " kataku dalam hati.
        Dia melepas pelukku dan secepat mungkin dia menyeka air yang keluar dari sudut matanya. " Lo nangis? " tanyaku heran. " Hahaha enggaklah! Masuk debu, nih kayanya " jawabnya sambil tertawa kecil. " Sini gue tiupin " kataku menawarkan bantuan. " Wes gak usah, Ren " dia menepis tanganku dengan lembut.
       " Ren, udah keburu maghrib nih, gue mesti buru-buru ke studio " katanya sambil melihat jam tangannya dan mengambil tasnya yang tergeletak di depanku. " Oh iya, gue bawa motor jadi gue pergi sendiri aja, lo langsung pulang gih sana " lanjutnya lagi. " Gapapa? " tanyaku kurang yakin. " Iya, yaudah gue duluan ya. Bye " jawabnya sambil berlalu.
        Dia meninggalkan aku sendiri di sini. Semakin lama, hanya tinggal punggungnya yang terlihat semakin menjauh. Aku menghela napas lega. Setidaknya dia bisa mendapatkan yang benar-benar pantas untuknya sebagai golden ticketnya menuju kebahagiaan. Bukan sekadar silver ticket sepertiku, sahabatnya. 
       
       


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepikiran #3 Kepikiran

What Happened to My Twenty-Seventh

Human's Emotion Over a Novel: Laut Bercerita