Malaikat Kecil

Aku telah berkelana mengitari seisi kota untuk mencarimu. Bahkan menyusuri tiap jalanan basah nan gelap malam itu. Dengan kaki yang mulai terasa lemah, aku berhenti di sebuah pelataran toko yang tak jelas kulihat apa namanya. Seperti yang kau tahu, mataku layaknya rabun senja. Sulit melihat di kala mentari tak lagi sepenuhnya menyinari.
            Ku letakkan sepeda yang seharian ini ku kayuh dan aku terduduk di ubin dingin itu. Rasanya sangat sulit bernafas dengan udara dingin yang mulai membuat setiap helaan nafasku menjadi uap putih.
            Ah, aku mulai cemas dan hampir putus asa. Kota seperti ini, mampukah kau keluar darinya?. Sebenarnya dimana kau hentikan langkah kedua kaki kecilmu?.
            Aku berdiri dan meninggalkan kehangatan untuk ubin pelataran toko yang ku duduki tadi. Ku dirikan sepedaku dan kembali menaikinya. Kembali mengayuh sepedaku yang setia sedari tadi menopangku dan membantuku mencarimu.
            Dinginnya udara membuatku semakin khawatir akan dirimu. Yang ku tahu, sekedar berbicara dengan orang lain pun kau tak mampu. Bagaimana dengan perut kecilmu? Apa yang mereka olah untuk menjadi energimu? Dan bagaimana kau bisa bertahan dan melawan udara dingin ini?
            Kakiku tetap mengayuh dan tanganku masih dengan kuat menggenggam stang sepedaku. Hatiku tetap bertanya-tanya. Dan sepertinya otakku hanya dipenuhi memori tentang dirimu yang terus berpendar. Jangan tanya jantungku. Karena dia berdetak semakin cepat dan semakin cepat setiap aku memikirkan dirimu.
            Mataku tak mau kalah. Dan akhirnya lacrimal gland dalam mataku mulai bekerja. Dan turunlah bulir-bulir air dari indera penglihatanku yang kurang normal ini. Mengingat dirimu menjadikanku sosok lemah yang harus selalu terlihat kuat di depanmu.
            “ Ah, mataku sudah rusak. Kenapa harus mengeluarkan air mata lagi “ sentakku pada diri sendiri. Emosi dalam diriku membuncah dan air matapun mengalir lebih deras. Ingin rasanya aku menghentikan kayuh sepedaku dan menangis sejadi-jadinya saat ini. Tapi, menemukanmu lebih dulu adalah tujuanku. Jadi tak mungkin kulakukan hal bodoh itu.
            Aku meneriaki namamu berharap kau di dekatku dan dapat mendengarku. Tapi, seperti sia-sia, sosokmu belum juga dapat ku temukan. Aku meneriaki namamu lagi sambil berdoa dalam hati. Berharap kau segera dapat ku jumpai dan membawamu pergi dari malam dingin ini.
            Jam tanganku berbunyi dan menandakan sudah pergantian hari. “ Kemana kau pergi, malaikat kecilku? Kuatlah sampai aku menemukanmu “ gumamku dalam hati sambil menyeka air mata dengan sebelah tanganku.
            Aku kembali menghentikan kayuhan kakiku tapi tetap ku teriaki namamu dengan sisa-sisa tenagaku. Air mataku masih menemaniku mencarimu. Dengan penglihatanku yang samar-samar, aku mencoba melihat sekelilingku. Namun nihil hasilnya, kau masih tetap tak ada.
            “ Kota ini terlalu besar untuk dirimu, sayang “ kataku dalam hati. Aku kembali mengayuh sepedaku dan tetap berdoa dalam hati. Dan, sepertinya Tuhan menjawab doa-doaku. Aku terhenti di tengah jalan ini karena mataku menangkap sosokmu di sudut jembatan seberang jalan. Aku langsung melajukan sepedaku ke arahmu yang terlihat kedinginan di sana.
            “ Bulan! “ ku panggil namamu dari kejauhan sambil berjalan ke arahmu. Kulihat matamu nanar melihatku. Seperti jiwa yang butuh kehangatan, tatapan itu serasa melemahkanku. Segera kupeluk tubuh kecilmu yang kedinginan itu. “ Kamu kenapa pergi dari rumah? Kamu sengaja bikin aku khawatir setengah mati sama kamu? “ tanyaku dengan nada agak tinggi pada bocah kecil yang sudah ku pegangi kedua lengannya. Mulutnya tak menjawab pertanyaanku. Aku seakan lupa kalau adikku tuna rungu. Tapi matanya melihatku dengan tatapan sendu. Ku lihat matanya mulai berkaca-kaca. Seperti ingin menangis, terdengar isak suaranya mulai mengisi keheningan malam ini.
            “ Astaga bodohnya aku “ gumamku dalam hati. Ku dekap tubuhnya lagi lebih erat dari sebelumnya. Dan terasa olehku air matanya menetes di pundakku. “ Maafkan aku “ suaraku lirih mengatakan hal itu. Ku usap punggungnya dan terasa isakkan tangisnya lebih kencang. Dia bergerak seakan ingin lepas dari pelukanku. Dan dia terlepas dari dekapanku.
            “ Aku tak mau menyusahkanmu lagi, biarkan aku pergi “ katanya dengan bahasa isyarat dari gerakan tubuhnya. “ Kau tak boleh pergi, kau harus tetap denganku “ jawabku dengan suara dari mulut sekaligus gerakan tanganku. “ Aku sudah cukup menyusahkanmu, Kak “ balasnya lagi. “ Tidak, tidak pernah “ jawabku dan tak terasa tangisku pecah seiring dengan gerakan tanganku yang terakhir.
            Jaket yang kukenakan segera kulepas dan ku pakaikan ke tubuh Bulan yang kedinginan. Ku hapus air matanya dan kembali ku berpura-pura kuat di hadapannya. Ku peluk lagi dirinya dengan erat dan ku kecup keningnya. “ Jangan pernah pergi lagi dariku, bahkan jika itu hanya sebuah pikiran sesaatmu “ kataku masih dengan gerakan tangan. Dia mengangguk perlahan dan mengangkat tangannya ke arah dada dan memusingkannya searah jarum jam. Lalu dia memeluk tubuhku. Dan sebuah kecupan hangat terasa di pipiku.
            Aku mengusap pipinya yang lembut dan mengajaknya pulang. Dan akhirnya aku kembali menaiki sepedaku tapi dengan adikku yang sudah duduk di belakangku. Ini akan menjadi kehilanganku yang pertama dan terakhir kalinya. Aku sungguh tak ingin dia pergi dariku walau sesulit apapun aku dan dia bila bersatu.
Dan di dini hari ini aku masih mengayuh sepedaku. Beranjak pulang meninggalkan dingin udara di luar dan ingin cepat-cepat merasakan kehangatan sesampainya di rumah. Sosok yang kucari seharian ini memelukku dari belakang dan merebahkan kepalanya di punggungku. Aku tersenyum dan bergumam dalam hati “ aku menyayangimu, malaikat kecilku. “

            

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepikiran #3 Kepikiran

What Happened to My Twenty-Seventh

Human's Emotion Over a Novel: Laut Bercerita