Hantu Cantik #4


Time goes on. Sekarang hampir setiap jam istirahat kedua aku bergegas pergi ke taman tempat hantu cantik biasa bersemayam. Untuk apalagi selain untuk mengambil kesempatan untuk mengobrol dengan hantu cantik. Hari ini dengan semangat 45 aku akan menyampirinya yang sedang duduk di taman. Dari jauh aku melihat dia sedang asyik mengobrol dengan bang Dika dan bang Lutfi. Sifat kelaki-lakiannya muncul dan terdengar suara tawanya yang menggema. Ya, dia wanita berjenis lelaki kurasa. Aku memperhatikannya dari jauh dan menunggu kedua sahabatnya pergi. Dari kejauhan ini kurasakan ada yang memperhatikanku, seperti mengawasi tingkah lakuku. Aku melihat kebelakang dan yang kulihat hanya beberapa siswa yang lalu lalang. Pandanganku tertuju ke arah taman lagi. Meradar kehadiran perempuan galak binti jail itu. Akhirnya bang Lutfi dan bang Dika pergi. Aku tersenyum lebar dan berlari kecil ke arahnya.

"Selamat siang Kak" sapaku. "Eh elo, siang juga" jawabnya. Dia terlihat buru-buru dan segera mengambil handphonenya yang ada di bangku taman. "Eh sorry ya gue buru-buru, gue ke lapangan basket dulu ya, kalo lo mau ikut ayok bareng gue, ada Dika sama Lutfi juga kok" ajaknya. "Oh siap makasih kak, saya disini aja kak" jawabku. Aku tersenyum kecil. Dia tersenyum juga dan berlari ke arah lapangan basket meninggalkanku. Aku tertinggal tentu saja. 

"Hhhh belum waktunya lagi" gumamku dalam hati sambil mendudukan diriku dibangku taman ini. "Hey sendiri aja?" tanya seorang perempuan membuyarkan lamunanku. Aku melihat bayangannya dari bawah sampai mencapai wajahnya. "Eh kak Ica, selamat siang kak" kataku. "Siang juga, boleh gue duduk disini?" tanya perempuan itu yang ternyata kak Ica. "Oh silakan kak, penunggunya kak Ara kok kak" kataku sedikit melucu. Perempuan itupun tersenyum kecil. Senyumnya manis juga, hampir menyaingi senyuman hantu cantik. "Hahaha bisa aja" katanya lagi. "Hmm tumben nih kak main kesini, gak serem?" tanyaku. "Iya, iseng aja. Loh emang serem kenapa?" tanyanya balik. "Gini kak, setau saya disini itu pernah ada orang gantung diri dan posisinya pas di atas kakak!" kataku sedikit menakutinya. "Ah serius?" tanyanya ketakutan. Aku tertawa geli dalam hati. "Iya kak, saya serius... bohongin kakak hehehehe" jawabku. "Oh  nakutin gue toh oh.. " katanya. "Siap salah kak, saya cuma becanda kak" kataku. "Hahaha take it easy, lagian bisa aja becandanya" jawabnya. "Hehehe iya kak, itu juga minjem kamusnya kak Ara kak" kataku lagi. "Oh Ara lagi hmm iyadeh" jawabnya. "Kenapa kak?" tanyaku. "Gapapa kok, ohiya minjem hape kamu dong?" pinta kak Ica. "Siap ini kak" kataku sambil menyerahkan ponselku kepadanya. Dia terlihat mengetik sesuatu dengan keypad handphoneku. “Itu nomor gue, kalau ada waktu sms dan kalau bisa secepatnya” perintahnya. “Oke kak” jawabku. Dia melihat jam tangan putih ditangan kanannya. “Hmm yaudah, gue cabut duluan ya, inget perintah gue” katanya sambil beranjak dari tempat duduknya. “Oke kak, siap” kataku balik sambil tersenyum. Dia tersenyum balik dan pergi.

-----------

Pagi ini hujan menderai di langit kota tua ini. Sudah sejak subuh seingatku hujan mulai menari indah menyejukkan kota. Awalnya kukira rintikan hujan akan berlalu dengan cepat makanya aku santai saja berjalan menuju sekolah. Namun perkiraanku ternyata salah. Kulihat jam tanganku dan waktu berjalan lebih cepat kurasa. “Pukul 07.03, berarti lima menit lagi apel mulai nih” gumamku dalam hati sambil mempercepat langkah. Aku berlari kecil sedang hujan jatuh lebih cepat. Seragamku basah hampir semua dan jarak antara koordinatku saat ini dan sekolah juga cukup jauh. Sudah begini telat adalah kepastian dan datang tepat waktu adalah mukjzat.
“Udah kalo gini gue fix telat” gumamku dalam hati lagi. Teettttt… Teeetttttt… Suara klakson sepeda motor mengarah padaku. Aku melihat ke arah sepeda motor itu sambil berjalan perlahan di bawah deraian hujan. “Woy ayo naik, ujan nih lagian udah mau apel” katanya. “Siap kak” kataku tergesa-gesa. Aku tak tahu siapa yang menawarkan boncengan ini, yang kutahu dari apa yang kudengar sepertinya dia adalah seorang wanita. Dia melajukan sepeda motornya dengan cepat. Hampir saja aku terjatuh saat dia menarik gas dan belum seluruh badanku terduduk saat menaiki sepeda motornya.
Akhirnya kami sampai di depan gerbang sekolah. Aku lega, hujanpun mereda. Aku yang masih dalam boncengan wanita ini hanya menghela nafas karena gerbang masih terbuka dan kami bisa menuju ke lapangan parkir. Aku turun dari jok sepeda motor metik yang memboncengku 4 menit lalu. Kelegaanku tadi seketika berubah menjadi debaran kencang. Wanita ini membuka helmnya dan menarik kunci sepeda motornya dan menyimpannya di saku celananya. “Ayo cepetan!” kata kak Ara. Ya! Kak Ara! Aku baru menyadarinya setelah melihat wajahnya. Mengapa aku tak sadar ketika dia memboncengku tadi dalam kecepatan tinggi padahal aku tahu dia salah satu road racer sekolah? Mengapa aku tak sadar kalau ini sepeda motor metiknya yang berwarna abu-abu hasil air-brush yang hampir setiap sore aku perhatikan dari jauh sepulang sekolah? Ah ketergesa-gesaan membutakan ingatanku. “Woy bengong lagi! Ayo!” katanya seperti menyentakku. Dia menarik tanganku dan kami berlari ke arah lapangan apel. Aku berlari lebih cepat darinya dan kini tangankulah yang menggenggam tangannya. Kami berlari bersama melintasi jalanan batako yang basah  Kami sampai di ujung lapangan dan ternyata apel sudah mulai. Polisi siswa sudah berdiri di depan kami dan tentu saja melarang kami masuk ke lapangan.
Tanganku masih menggenggam erat tangannya. Dan kurasakan genggamannyapun sama eratnya. Kurasa detakan jantung kamipun berpacu sama kencangnya. Tanpa peduli itu ternyata di depan kami sudah ada dua orang polisi siswa yang sedang melihat kami dari bawah sampai atas. Mereka memperhatikan kami dan tersenyum kecil. “Ehem erat banget tuh genggaman, awas gak bisa lepas” kata salah satu dari mereka. “Eh jangan salah paham lo pada” tangkis kak Ara sambil melepas genggamanku. Dia tersenyum kecil dan melihat ke arahku. Aku membalas senyumnya dengan sedikit lebih lebar. Dia malah tertawa kecil. Tatapan mataku menangkap tatapan matanya. Seperti saling terikat. “Yaudah lo pada ambil jatah dulu dah, anak-anak ntar lagi selesai tuh apelnya” kata polisi siswa yang lain. “Siaaaaapppppp” kata kak Ara dan diapun langsung melakukan push-up. Aku memperhatikannya push-up sambil mengakui ke-laki-lakian-nya. Maksudku bukan dia yang memiliki kejanggalan pada tubuhnya yang seperti laki-laki. Tapi sikap dan sifatnya yang tegas membuatku merasa dia wanita berjenis lelaki. “Eh lo juga, junior kok malah gak push-up” kata polisi siswa itu lagi. “Siap” jawabku singkat dan langsung mengambil jatah push-up. Kak Ara sudah terlebih dahulu berdiri dan aku segera menyelesaikan jatahku. Akupun akhirnya berdiri setelah mengambil jatah push-up tadi. “Yaudah lo boleh pada masuk, anak-anak udah selesai apel tuh” kata polisi siswa yang tadi lagi. “Oke” kata kak Ara mengiyakan. Dia mengambil tasnya dan berlalu. Ya, dia berlalu tanpa mengucap satu katapun padaku. Apa aku terlalu berharap?.
Polisi siswa dan kak Ara sudah pergi meninggalkanku. Dan tiba-tiba, “Woy Ka” tegur seseorang dari arah belakangku. Baru saja aku ingin melangkah pergi dan tertahan lagi karena panggilan itu. Aku berbalik dan  “Siap bang” kataku. Ternyata bang Lutfi. “Tadi lo berangkat sama Ara?” tanyanya. “Siap iya bang, sebenernya saya numpang pas udah deket bang” jawabku. “Hmm yaudah santai aja, lo suka sama dia kan?” tanyanya lagi. Aku terdiam sejenak. Mengapa tiba-tiba lelaki ini bertanya hal sepribadi itu?. “Siap iya bang, saya fikir saya mulai menyukai kak Ara” jawabku tegas. Dia tersenyum kecil dan mengambil secarik kertas dari buku sakunya. Dia terlihat menulis sesuatu. “Nih buat lo” katanya sambil menyodorkan kertas tadi. Aku melihat kertas itu yang ternyata berisi dua belas digit angka. Aku mengernyitkan dahi. “Itu nomornya Ara. Kalo lo mau deketin dia, buruan. Segalak-galaknya dia, gak cuma lo yang suka sama dia” kata bang Lutfi lagi. “Siap makasi bang” kataku sambil tersenyum lebar. “Iya sama-sama, tapi lo mending mingkem dah, sarapan lo masih nempel tuh” katanya sambil berlalu. “Sisa sarapan?” tanyaku dalam hati. “Jangan-jangan…” ah dengan sigap aku langsung bergerak maju. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kepikiran #3 Kepikiran

What Happened to My Twenty-Seventh

Human's Emotion Over a Novel: Laut Bercerita