Butuh Kopi Pahit #2
“Arisa,
ya?”
Well, apa
ini? Apa ini mimpi lagi? Mimpi dalam mimpi? Eh tapi kok deg-deg-an?
“Iya, maaf
apa saya kenal Anda?” tanyaku memastikan. Masih deg-deg-an.
“Mungkin
kamu enggak kenal saya, tapi saya pernah sekali baca novel kamu. Penulis cerita
Bukan Awan, kan?”
“Hmm iya
hehe” jawabku dengan tawa yang terdengar dipaksakan. Bukan Awan? Buseh, itu
jaman kapan tau..
“Perkenalkan,
saya.. “
“Arhan”
Belum
sempat dia mengenalkan namanya, suara barista kedai itu menyebutkan sebuah
nama. Dan aku masih duduk manis, tidak jadi melangkah pergi.
“Nah itu barusan
nama saya, sebentar..”
Dia
tersenyum manis dan segera berlalu menuju minuman yang baru saja selesai
dibuat. Mataku seperti terhipnosis, tergiring mengikuti langkah kaki lelaki
itu. Biar ku definisikan ciri-ciri lelaki itu. Saat ini dia memakai kemeja
lengan panjang warna biru gelap yang digulung sampai siku, kaos dalam hitam
dengan bawahan celana berwarna coklat tua. Jam kulit, tas simple dan dia wangi.
Lelaki ini
persis lelaki di mimpiku tadi!
Dia kembali
dan duduk di depanku. Aku deg-deg-an.
CUKUP. Ini
lebay dan ya ampun apa-apaan. Aku harus tetap tenang.
“Oh iya,
saya Arhan” katanya memulai percakapan sambil mengulurkan tangannya.
“Arisa” aku
menyambut uluran tangan itu.
“Well, finally
I found you”
“What?”
tanyaku heran. Sebaliknya, dia tersenyum lebar. Situasi macam apa ini?
Dia
mendekatkan tubuhnya ke arahku dan menunjuk sesuatu di luar kedai.
“Wah ada
barongsai!” dia berseru.
Seketika
aku menolehkan pandangan ke arah luar kedai. Benar saja, ternyata ada
barongsai! Pawai imlek mungkin, ya? Tapi, rasanya momen ini terasa tidak asing.
Wait.. jangan-jangan..
Aku membalikkan
tubuh dengan perlahan dan..
Aku
mendapati lelaki itu masih di tempat duduknya dengan tatapan lurus ke arah
luar, ke pawai barongsai di luar. Aku menghela napas, rupanya mimpi aneh yang
mengejutkan tadi tidak terulang di dunia nyata. Kalau dipikir dengan logika,
tentu saja hal itu mustahil. Seorang lelaki asing yang good-looking tiba-tiba
mencium kening seorang gadis beranjak tua yang acak-acakan ini. Aku tenggelam
dalam pikiran-pikiranku sendiri dan kembali memaki diri sendiri dalam hati
karena betapa naifnya aku yang sudah berumur ini.
Tapi, dia
bilang akhirnya menemukan aku?
~~~
“Tadi
maksudnya gimana? Akhirnya nemuin saya?”
“Ah kaget,
ya? Enggak apa-apa kok, mbak. Saya cuma seneng akhirnya ketemu sama penulis
novel pertama yang saya baca hahaha“ katanya sambil tertawa kecil.
“Hehehe
gitu ya?” jawabku seadanya, walau sebenarnya aku cukup senang.
“Iya, wajah
mbak gak berubah juga sama yang di sampul belakang novel, padahal ada kali lima
atau tujuh tahun lalu gitu, ya?”
Mbak-mbak..
Kapan aku nikah sama mas-mu, woi?! Lagian bukannya sebelumnya dia pakai
saya-kamu, ya? Kenapa jadi manggil mbak, sih?
“Sek-sek,
Mas.. Kanjenengan wong Jowo atau saya yang ketuaan? Panggil saya Arisa aja. Toh
saya sepertinya lebih muda dari kamu” jawabku sok pakai Bahasa Jawa. Padahal
mah, putri Sumatra asli.
“Eh? Gapapa
mbak? Sebenernya saya lebih muda setahun dari mbak Arisa. Hehehe” jawabnya
sambil tertawa kecil lagi. Ngeledek apa ya?
Aku
mengernyitkan dahi tanda ‘seriusan lo?’
Seperti
paham tanda dahiku, dia lalu tertawa lebih kencang dan mulai berkata lagi “Bercanda
deng! Saya umurnya sama kaya kamu, tahun 90 kan?”
“Oh hehehe
gitu toh” jawabku dengan seulas senyum yang agak dipaksakan.
“Iya, saya
masih inget profil kamu di novel Bukan Awan. Kelahiran 12 Juni 1990, makanan
kesukaan mie ayam sama martabak keju dan paling suka bayangin hal-hal romantis.
Iya kan? Saya masih inget banget apa yang tertulis di sana” dia menjelaskan
dengan penuh percaya diri dan senang. Raut wajahnya tersenyum seperti anak
kecil padahal dia bilang usianya sama denganku.
“Well, I
even don’t remember” jawabku malu sambil menyeruput mocacinoku yang hampir
habis. “Tapi mie ayam sama martabak keju kayanya masih deh”
“Hahaha iya
kan?” jawabnya setelah menyelesaikan tegukan minumannya. “Kamu sibuk habis ini?
Gimana kalau habis ini kita makan mie ayam? Ada tukang mie ayam sekitar 20
menit dari sini.” Dia melanjutkan tawanya dengan sebuah ajakan tiba-tiba.
Aku
terkejoed (terkejut).
“Wah sebuah
ajakan tiba-tiba.. Mie ayam pula, tapi maaf saya gak bisa.” Aku menolaknya
meskipun rasanya aku tertarik. Aku melihat jam tanganku dan hari mulai sore.
Sepertinya percakapan yang menarik ini harus berakhir sekarang.
Hmm.. Saya
harus pergi sekarang”
Dia menoleh ke arahku dan menatapku
heran. Sebenarnya aku belum benar-benar ingin pergi, sih.
“Oh, apa saya ganggu waktu kamu?
“Enggak.. hahaha saya cuma harus ke
suatu tempat segera” jawabku bergegas pergi. “Okay, Han. See you”
"Tunggu, Sa" katanya tiba-tiba membuat aku menghentikan langkah yang juga jadinya tiba-tiba.
"Eh, ya? Kenapa lagi?"
"Yang benar itu 'panjenengan' bukan 'kanjenengan' hehehe" jawabnya sambil cengar-cengir.
"Oh hehehe gitu ya.." kataku canggung dan menahan malu.
“Will I see you again?” tanyanya
sambil tersenyum menggoda.
"Maybe.. Kalau takdir" jawabku singkat.
“Hahaha see you, Arisa. See you soon"
Aku
tersenyum dan berlalu pergi. Sebelum aku keluar dari pintu kedai, suara Arhan
mengudara. “Arisa! Mie ayam someday?” Aku hanya menoleh, tersenyum kecil dan
melambaikan tangan lalu segera pergi.
Woh, ada lanjutannya.. Bagoes 👍
BalasHapusDrim Kam tru, Arisa
Not yet~~~
Hapus2 months later.. Arisa #3
Hapus